MAKALAH
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Genetika
Dosen
pengampu : Yuyun
Maryuningsih, S.Si, M.Pd
Di Susun Oleh :
Nurul
Syiam
14121620645
Tarbiyah/IPA Biologi C/V
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Penyakit Lupus merupakan penyakit inflamasi
kronik yang diperantarai oleh sistem imun, dimana seharusnya sistem ini
melindungi tubuh dari berbagai penyakit yang berasal dari virus, kuman, atau
bakteri yang masuk ke dalam tubuh, tapi justru malah menyerang tubuh itu
sendiri.
Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit,
tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Terdapat
beberapa faktor utama yang menyebabkan seseorang terjangkit penyakit lupus
yakni genetika salah satunya, dimana lupus bisa ditularkan dari orang tua
kepada anaknya.
Berdasarkan artikel yang dikutip dari
DetikNews (2014) diketahui peneliti dari Australian National University (ANU)
di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik
dari penyakit lupus. Penyakit ini dikenal sebagai peradangan kronis yang
terjadi ketika sistem imun tubuh justru menyerang organ dan jaringan tubuh. Dr
Julia Ellyard yang memimpin penelitian ini di ANU menjelaskan, timnya menggunakan
obat khusus untuk mengidentifikasi penyebab penyakit autoimmune ini pada
seorang pasien perempuan berusia 10 tahun. Penyakit lupus bisa menyerang kulit
dan persendian penderita, namun juga bisa menyerang organ utama. Selama ini
penyebab lupus diketahui berkaitan dengan faktor genetika, namun tidak
diketahui pasti apa yang memicu serangan lupus. Dengan pendekatan yang
digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya
adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut
interferon-alpha. Selain faktor genetik, faktor lain yang menyebabkan seseorang
terjangkit penyakit lupus adalah faktor lingkungan, hormon dan penyakit.
Menurut Musai dalam journalnya yang berjudul
Terapi Lupus Sistemik dengan penghambatan konstimulasi sel T (2010), Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) merupakan prototipe penyakit autoimun non-organ
spesifik. Semua komponen utama sistem imun terlibat dalam mekanisme yang mendasari
terjadinya penyakit ini. Lupus eritematosus sistemik bersifat multisistem.
Kerusakan sel dan organ terjadi akibat adanya autoantibodi dan endapan kompleks
imun. Etiologi dan patogenesis LES sangat kompleks, dengan gambaran patologik
utama berupa inflamasi, vaskulitis, deposit kompleks imun, dan vaskulopati. Prognosis
dan harapan hidup penderita LES terus membaik dalam dua dekade terakhir.
Diagnosis dini, kewaspadaan yang lebih baik, spesifisitas autoantibodi baru, dan
perbaikan teknik serologik telah memperbaiki prognosis LES. Faktor lain yang
juga berpengaruh adalah peningkatan pengetahuan tentang LES, perbaikan
pelayanan kesehatan secara umum, serta pemakaian obat-obatan anti-inflamasi, imunosupresor,
dan imunomodulator (steroid, sitostatika dan gammaglobulin).
Musai menambahkan bahwa hingga saat ini masih
dibutuhkan terapi yang lebih efektif dengan efek samping lebih ringan
dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh sitotoksik dan glukokortikoid.
Beberapa penelitian terus dilakukan untuk mencari strategi terapi baru dengan
efektivitas lebih tinggi dan komorbiditas lebih rendah. Strategi ini didasarkan
atas teori mengenai kehadiran dua jenis sinyal yang diperlukan untuk aktivasi
sel T, dan pemutusan salah satu sinyal ini akan menyebabkan sel T tidak
berespons. Sinyal pertama timbul saat reseptor sel T (T cell receptor/TCR)
berikatan dengan fragmen antigen pada permukaan sel penyaji antigen (antigen
presenting cell, APC). Sinyal ini tidak cukup kuat untuk
mengaktifkan sel T. Untuk memicu terjadinya respons imun, sel T harus menerima
sinyal kedua dari pasangan reseptor-ligan lain, yang disebut kostimulasi.
Sinyal kedua tersebut menentukan apakah sel T akan diaktifkan untuk menimbulkan
respons imun, atau sebaliknya, menjadi tidak mampu berespons (anergi). Prinsip
ini merupakan inti dari strategi terapi baru, untuk yaitu hambatan kostimulasi
sel T. Banyak uji klinis yang terus berlangsung untuk mencari berbagai peptida
dan bahan biologis potensial seperti Cytotoxic
T Lymphocyte-associated Antigen-4 Immunoglobuline
(CTLA4-Ig). Meski dari hasil uji klinis obat ini terbukti memberikan harapan
untuk digunakan secara spesifik pada penderita lupus, penggunaannya belum
mendapat persetujuan yang resmi.
B. Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
apa yang dimaksud dengan Lupus Erythematosus Sistemik ?
2.
Sebutkan
dan jelaskan Faktor Predisposisi pada
penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) ?
3.
Bagaimanakah
diagnosa
dan terapi yang digunakan untuk
menangani penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
C. Tujuan
1.
Memahami
penyakit Lupus Erythematosus Sistemik
2.
Mengetahui
Faktor Predisposisi pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3.
Mengetahui
diagnosa Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan terapi gen yang digunakan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Lupus berasal
dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani
berarti kemerah-merahan. Istilah lupus
erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Krishnamurthy (2011) menyatakan bahwa Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis
yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi
klinis.
Menurut para ahli reumatologi Indonesia,
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga
terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Dari kedua pendapat tersebut dapat
dikatakan bahwa lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan
imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga
terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi
yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya
penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang
muncul dan organ yang terlibat.
B. Faktor
Predisposisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai
(2010) :
1. Faktor
Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon
imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita
SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah
dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita
SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui
peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil
mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus.
Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil
mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang
disebut interferon-alpha.
2. Faktor
Imunologi
Pada
lupus enteritis terdapat
beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang
berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor
yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah
dari sel T.
b. Kelainan
intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T
dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu
limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan
antibodi
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang
dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe
dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi,
sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor
Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat
memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan
risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan
bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor
resiko terjadinya SLE.
4. Faktor
Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat
bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam
timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi
virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan
bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri
dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan
sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi
penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE
dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE
pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug
Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan
isoniazid. (Musai : 2010)
C.
Diagnosa Systemic
Lupus Erythematosus (SLE)
Menurut
Kambayana (2014) diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain
dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga
terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang
dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat
badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa
organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,
dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi
dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini
sama dengan penyakit lain.
D. Terapi
Gen Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Perhimpunan Reumatologi Indonesia dalam bukunya yang
berjudul Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik menyatakan bahwa
perjalanan
penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan
yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna
sebagai panduan dalam pemberian terapi. Batasan
operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya atau diterapkannya
prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian
obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan
bio-psiko-sosial. Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.
Tujuan
khusus pengobatan SLE diantaranya adalah mendapatkan masa remisi yang panjang,
menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin serta mengurangi rasa nyeri dan
memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal. Genomic adalah studi tentang seluruh genome dari suatu organisme. Genome
sendiri adalah keseluruhan informasi materi genetik yang diwariskan dari
tetuanya kepada keturunannya yang ada pada suatu organisme. Pentingnya memahami
genomic dalam penyakit SLE menurut Krishnamurthy dan Subramanian (2011)
diantaranya adalah :
1.
Untuk
memprediksi pasien yang beresiko tinggi membawa satu atau lebih
faktor kerentanan genetik dalam keluarga.
2.
Untuk mengidentifikasi kembali individu
dengan genetik yang berisiko tinggi
terkena SLE, sehingga dapat mencegah penyakit dengan kontrol lingkungan dan
genetik konseling anggota keluarga yang berisiko tinggi terkena SLE.
3.
Untuk meningkatkan pemahaman kita tentang
penyakit SLE
4.
Karena manifestasi klinis, respon pengobatan,
dan prognosis mungkin heterogen, studi genetik dapat membantu dalam memprediksi
individu pasien klinis kursus dan prognosis yang lebih tepat dan mungkin
berlaku pilihan pengobatan yang berbeda, menyediakan disesuaikan obat.
Menurut
Syamsi dhuha (2014 : 4) penilaian klinis aktivitas penyakit sama pentingnya
dengan hasil tes laboratorium.
Pemantauan aktifitas penyakit sangat diperlukan untuk menentukan agresifitas
penatalaksanaan lupus dan dosis obat yang dibutuhkan. Hal ini dapat
dimonitor dari banyaknya organ tubuh pasien yang terkena dan tes laboratorium
yang sesuai untuk memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan
tes fungsi ginjal,atau fungsi paru, jumlah sel darah putih (leukosit),
sel darah merah (hemoglobin) atau bahkan Laju Endap Darah (LED). Berbagai
indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan digunakan
oleh para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan
kerusakan jaringan yang terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh
dari peradangan aktif atau akibat kerusakan yang terbentuk. Sehingga
pada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang,
dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul :
1.
Lupus Ringan
Syamsi
dhuha (2014 : 4-5) menyatakan bahwa manifestasi yang umum adalah nyeri sendi,
ruam, sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s
syndrome (perubahan warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut
rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik
dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya.
Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan
gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan digunakannya
steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau
ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi
harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari
manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan
pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan
lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah
raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan
2.
Lupus Sedang
Tingkatan
ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput
jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau
leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun
dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian
menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk
menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg
prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat
imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate.
Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia,
tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obatobat immunosupresan ini membutuhkan waktu
1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut steroid masih
dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah
dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit. (Syamsi dhuha, 2014 :
5)
3.
Lupus Berat
Ginjal,
SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke dalam
tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat
immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan
untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau
mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis
steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi
awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar penyakit
tetap terkontrol. (Syamsi dhuha, 2014 : 5)
Syamsi
dhuha (2014 : 5) menambahkan bahwa pengobatan tambahan yang digunakan untuk
lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan
antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan
waktu yang lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat
membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai
otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung
memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat.
Berikut
adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11)
:
1.
Edukasi dan Konseling
Informasi
yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE
dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami,
perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi
kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi
infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2. Program
Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program
rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup,
sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan
latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 :
10-11)
3. Terapi
Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi
gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator
dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor
sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti
TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan
perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen
yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus :
a.
NSAID (Non
Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti
inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan
gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi
ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung
dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan
dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin.
(Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
b.
Kortikosteroid
Syamsi
dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan
kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah
untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang
disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus.
Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan
bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan
osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung.
Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan
harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan
risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid,
terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk
pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat
penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan
gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan
bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus
dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau
metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat
kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian
aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
c.
Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih
sering digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata
diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis
harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat
kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka
panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek
anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang
menetap serta cukup aman pada kehamilan.
d.
Immunosupresan
Menurut Postal, dkk (2012) dalam journalnya yang berjudul Biological therapy in systemic lupus
erythematosus terapi SLE berat antara lain imunosupresi dengan target sel
B, imunosupresi dengan target sel T, imunosupresi yang menghambat sitokin, dan imunosupresi
menghambat komplemen berfungsi menekan sistem imun (imunosupresif), efektif
mengurangi gejala sisa SLE namun dapat meningkatkan risiko infeksi serius.
1)
Imunosupresi
dengan target sel B
Sebagian besar sel B terlibat dalam
patogenesis SLE sebagai sumber autoantibodi, sebagai antigen-presenting cells (APC), sebagai pemrakarsa serta
pengatur radang melalui sekresi sitokin. Sel B merupakan target pengobatan
imunosupresi termasuk anti-CD20
monoclonal antibody (rituximab) dan anti-B
lymphocyte stimulator (BLyS)
:
a) Anti-CD20 Antibody
Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B
pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada awal perkembangan limfosit B.
Pemberian rituximab akan mengurangi limfosit B positif
CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi dengan sel B asli yang tidak
terpapar antigen. Efek samping rituximab
yang paling sering diantaranya adalah
reaksi transfusi (30–35%), neutropenia (8%), dan produksi human antichimeric antibodies (9%). Kasus fatal yang jarang terjadi
termasuk progressive multifocal
leukoencephalopathy yang
disebabkan polyomavirus JC.
Monoclonal anti-CD20 antibodies yang baru termasuk ocrelizumab,
merupakan recombinant humanized
monoclonal anti-CD20 antibody telah
dicoba pada SLE ekstrarenal dan nefritis lupus.
(1)
Anti-CD22
Antibodies – Epratuzumab
Fungsi epratuzumab adalah untuk
mengatur fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya. Dalam penelitian obat
tersebut digunakan untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil baik dan aman
serta mengurangi kebutuhan dosis kortikosteroid.
(2) B-Lymphocyte Tolerogens –
Abetimus (LJP-394)
Obat ini merupakan tolerogen terhadap
sel B yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus telah
diteliti pada manusia baik penderita lupus non renal maupun lupus nefritis.
Tolerogen lain, yaitu TV-4710 (Edratide), merupakan peptida yang disusun oleh
19 asam amino.
b) BLyS Blockers
B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator (BLyS) yang juga disebut B-cell activation factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci dalam aktivasi
dan diferensiasi sel B sehingga dapat digunakan sebagai target yang baik untuk
intervensi SLE. Penghambatan BlyS akan mengurangi sel B dan bermakna
meningkatkan aktivasi imun.
Contoh obat ini belimumab merupakan human
monoclonal antibody yang
berikatan dengan BLyS sehingga menghambat aktivitas biologinya. FDA (Food And
Drug Administration) Amerika Serikat telah menyetujui obat tersebut untuk
pengobatan SLE. Penghambat BlyS lain atacicept (TACI-Ig)
merupakan soluble transmembrane
activator dan calcium-modulator dan cyclophilin
ligand interactor (TACI)
receptor, yang mengikat BAFF. Obat ini ditoleransi baik oleh penderita
SLE.
2)
Imunosupresi
dengan target sel T
Aktivasi sel T membutuhkan interaksi
rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada sel T sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80 dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen Precenting
Cell). Abatacept dapat
menghambat interaksi tersebut. Suatu antibodi monoklonal efalizumab dapat langsung menghambat CD11a yang berperan penting untuk
aktivasi, reaktivasi, ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit. Dengan
demikian pemberian obat ini dapat mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.
3)
Imunosupresi
yang menghambat sitokin
Sitokin yang berperan pada proses
radang, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ,
termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interferon
alpha/gamma (IFN-α/γ)
dan interleukin
(IL) 1, 6, 10, 15, dan 18.
Sitokin-sitokin tersebut potensial sebagai target pengobatan untuk mengurangi
radang kronis pada SLE
a)
Anti-TNF-α
TNF-α pada SLE dapat meningkatkan apoptosis
dan berpengaruh bermakna pada aktifi tas sel B, sel T dan sel detritus. Selain itu
anti TNF-α menghambat pembentukan autoantibodi termasuk antinuclear, anti-dsDNA dan anti cardiolipin. Ada beberapa preparat anti TNF-α
yang tersedia termasuk infl iximab, adalimumab, golimumab,
certolizumab pegol dan
etanercept.
b)
Anti-IFN-α/γ
IFN-α berperan bermakna pada
patogenesis SLE dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan komplikasi
ginjal. Obat anti INF-α termasuk sifalimumab (MEDI-545) dan rontalizumab
serta obat anti INF-γ (AMG 811)
merupakan obat yang aman serta ditoleransi penderita SLE.
c)
Anti-IL-1
Pada SLE, kadar serum TNF dan anti-dsDNA
antibody meningkatkan
kadar serum IL-1, peningkatan kadar IL-1 dihubungkan dengan aktifi tas penyakit
dan kadar rendah antagonis reseptor IL-1 dihubungkan dengan nefritis lupus. Anakinra
menetralkan aktivitas biologi IL-1;
obat ini aman pada penderita SLE dan efektif memperbaiki artritis.
d) Anti-IL-6
IL-6
menginduksi diferensiasi sel B menjadi sel plasma, sekresi antibodi dan
hiperaktif, di samping itu juga mendorong proliferasi sel T, diferensiasi cytotoxic
T-cell dan radang
lokal. Ekspresi IL-6 pada nefritis lupus tinggi sehingga digunakan anti IL-6 (tocilizumab). Neutropeni merupakan efek samping
yang sering terjadi pada pemberian tocilizumab
e) Anti-IL-10
IL-10
diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada
SLE meningkat dan dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Pemberian anti IL-10
akan menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan menghambat terjadinya proteinuria
dan glomerulonefritis.
f)
Anti-IL-15
IL-15 terutama diproduksi oleh
makrofag dan ditemukan meningkat pada 40% penderita SLE, namun peningkatan
tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Obat anti IL-15 sedang
dicoba untuk penyakit autoimun lain.
g)
Anti-IL-18
IL-18 merupakan sitokin proinfl amasi
yang erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai penelitian menemukan peningkatan
kadar serum IL-18 pada penderita SLE yang dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai
saat ini penghambat IL-18 belum digunakan pada SLE manusia
4) Imunosupresan menghambat komplemen
Sistem
komplemen terdiri dari 3 jalur dan lebih dari 30 protein terlibat secara
langsung atau tidak langsung memperantarai efek komplemen. Sistem komplemen
mempunyai efek proteksi terhadap SLE sedangkan pada keadaan defi siensi
komponen jalur klasik dihubungkan dengan peningkatan risiko SLE. Deposisi
kompleks imun menyebabkan sistem komplemen aktif dan meningkatkan respons
radang. Ada dua penghambat komplemen yaitu TP10 dan eculizumab yang walaupun
belum ada penelitian klinik, mungkin dapat digunakan sebagai pengobatan SLE.
(Postal, 2012 : 1-5)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan mengenai Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan
imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga
terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya,
memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang
beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah
faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan.
Diagnosis
penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan
beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi
dan tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan
untuk memilih obat lebih baik yang
ditujukan pada
target. Target terhadap sel B dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi. Manifestasi tertentu SLE seperti penyakit kulit
yang
refrakter dan nefritis berhasil
diatasi dengan baik
dengan antagonis TNF-α dan anti IL-6.
DAFTAR
PUSTAKA
DetikNews.
Peneliti Australia Berhasil Identifikasi
Penyebab Genetik Penyakit Lupus. http://news.detik.com/read/2014/08/19/161523/2666565/1513/peneliti-australia-berhasil-identifikasi-penyebab-genetik-penyakit-lupus. (Online). Diakses pada hari Minggu, 9
November 2014 Pukul 22.00 WIB.
Kambayana,
dkk. 2014. Target Terapi Imunosupresan
pada Lupus Eritematosus Sistemik. Denpasar : Universitas Udayana.
Krishnamurthy S,
Subramanian M. 2011. Systemic Lupus Erythematosus: Recent Concepts
in Genomics, Pathogenetic Mechanisms, and Therapies. 10.5402/2011/868964.
Musai Musdianto.
2010. Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T. Palembang : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Perhimpunan
Reumatologi Indonesia. 2004. Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Indonesia : Perhimpunan
Reumatologi Indonesia.
Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. 2012. Biological therapy in systemic lupus
erythematosus. 2012:578-641.
Redaksi
Media in Health. 2013. Media in Health.
Jakarta : PT. Asuransi Jiwa in Health Indonesia.
Syamsi
dhuha. 2012. Lupus dan Penatalaksanaannya.
Syamsi dhuha foundation. Diakses pada hari Sabtu, 8 November Pukul. 20.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar