Selasa, 03 November 2015

MAKALAH GENETIKA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

MAKALAH
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
   Mata Kuliah : Genetika
Dosen pengampu : Yuyun Maryuningsih, S.Si, M.Pd









Di Susun Oleh :
Nurul Syiam 
14121620645
Tarbiyah/IPA Biologi C/V


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 SYEKH NURJATI CIREBON
2014




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Pendahuluan
Penyakit Lupus merupakan penyakit inflamasi kronik yang diperantarai oleh sistem imun, dimana seharusnya sistem ini melindungi tubuh dari berbagai penyakit yang berasal dari virus, kuman, atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh, tapi justru malah menyerang tubuh itu sendiri.
Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan seseorang terjangkit penyakit lupus yakni genetika salah satunya, dimana lupus bisa ditularkan dari orang tua kepada anaknya.
Berdasarkan artikel yang dikutip dari DetikNews (2014) diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Penyakit ini dikenal sebagai peradangan kronis yang terjadi ketika sistem imun tubuh justru menyerang organ dan jaringan tubuh. Dr Julia Ellyard yang memimpin penelitian ini di ANU menjelaskan, timnya menggunakan obat khusus untuk mengidentifikasi penyebab penyakit autoimmune ini pada seorang pasien perempuan berusia 10 tahun. Penyakit lupus bisa menyerang kulit dan persendian penderita, namun juga bisa menyerang organ utama. Selama ini penyebab lupus diketahui berkaitan dengan faktor genetika, namun tidak diketahui pasti apa yang memicu serangan lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha. Selain faktor genetik, faktor lain yang menyebabkan seseorang terjangkit penyakit lupus adalah faktor lingkungan, hormon dan penyakit.
Menurut Musai dalam journalnya yang berjudul Terapi Lupus Sistemik dengan penghambatan konstimulasi sel T (2010), Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan prototipe penyakit autoimun non-organ spesifik. Semua komponen utama sistem imun terlibat dalam mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit ini. Lupus eritematosus sistemik bersifat multisistem. Kerusakan sel dan organ terjadi akibat adanya autoantibodi dan endapan kompleks imun. Etiologi dan patogenesis LES sangat kompleks, dengan gambaran patologik utama berupa inflamasi, vaskulitis, deposit kompleks imun, dan vaskulopati. Prognosis dan harapan hidup penderita LES terus membaik dalam dua dekade terakhir. Diagnosis dini, kewaspadaan yang lebih baik, spesifisitas autoantibodi baru, dan perbaikan teknik serologik telah memperbaiki prognosis LES. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah peningkatan pengetahuan tentang LES, perbaikan pelayanan kesehatan secara umum, serta pemakaian obat-obatan anti-inflamasi, imunosupresor, dan imunomodulator (steroid, sitostatika dan gammaglobulin).
Musai menambahkan bahwa hingga saat ini masih dibutuhkan terapi yang lebih efektif dengan efek samping lebih ringan dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh sitotoksik dan glukokortikoid. Beberapa penelitian terus dilakukan untuk mencari strategi terapi baru dengan efektivitas lebih tinggi dan komorbiditas lebih rendah. Strategi ini didasarkan atas teori mengenai kehadiran dua jenis sinyal yang diperlukan untuk aktivasi sel T, dan pemutusan salah satu sinyal ini akan menyebabkan sel T tidak berespons. Sinyal pertama timbul saat reseptor sel T (T cell receptor/TCR) berikatan dengan fragmen antigen pada permukaan sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC). Sinyal ini tidak cukup kuat untuk mengaktifkan sel T. Untuk memicu terjadinya respons imun, sel T harus menerima sinyal kedua dari pasangan reseptor-ligan lain, yang disebut kostimulasi. Sinyal kedua tersebut menentukan apakah sel T akan diaktifkan untuk menimbulkan respons imun, atau sebaliknya, menjadi tidak mampu berespons (anergi). Prinsip ini merupakan inti dari strategi terapi baru, untuk yaitu hambatan kostimulasi sel T. Banyak uji klinis yang terus berlangsung untuk mencari berbagai peptida dan bahan biologis potensial seperti Cytotoxic T Lymphocyte-associated Antigen-4 Immunoglobuline (CTLA4-Ig). Meski dari hasil uji klinis obat ini terbukti memberikan harapan untuk digunakan secara spesifik pada penderita lupus, penggunaannya belum mendapat persetujuan yang resmi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan Lupus Erythematosus Sistemik ?
2.      Sebutkan dan jelaskan Faktor Predisposisi pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
3.      Bagaimanakah diagnosa dan terapi yang digunakan untuk menangani penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ?
C.     Tujuan
1.      Memahami penyakit Lupus Erythematosus Sistemik
2.      Mengetahui Faktor Predisposisi pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3.      Mengetahui diagnosa Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan terapi gen yang digunakan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Krishnamurthy (2011) menyatakan bahwa Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis. 
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.  Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.
B.     Faktor Predisposisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai (2010) :
1.      Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
2.      Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a.       Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b.      Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c.       Kelainan antibodi
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3.      Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4.      Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a.       Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b.      Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c.       Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d.      Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. (Musai : 2010)
C.      Diagnosa Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Menurut Kambayana (2014) diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.
D.      Terapi Gen Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Perhimpunan Reumatologi Indonesia dalam bukunya yang berjudul Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik menyatakan bahwa perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi.  Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya atau diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial. Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.
Tujuan khusus pengobatan SLE diantaranya adalah mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin serta mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Genomic adalah studi tentang seluruh genome dari suatu organisme. Genome sendiri adalah keseluruhan informasi materi genetik yang diwariskan dari tetuanya kepada keturunannya yang ada pada suatu organisme. Pentingnya memahami genomic dalam penyakit SLE menurut Krishnamurthy dan Subramanian (2011) diantaranya adalah :
1.    Untuk memprediksi pasien yang beresiko tinggi membawa satu atau lebih faktor kerentanan genetik dalam keluarga.
2.    Untuk mengidentifikasi kembali individu dengan genetik yang  berisiko tinggi terkena SLE, sehingga dapat mencegah penyakit dengan kontrol lingkungan dan genetik konseling anggota keluarga yang berisiko tinggi terkena SLE.
3.    Untuk meningkatkan pemahaman kita tentang penyakit SLE
4.    Karena manifestasi klinis, respon pengobatan, dan prognosis mungkin heterogen, studi genetik dapat membantu dalam memprediksi individu pasien klinis kursus dan prognosis yang lebih tepat dan mungkin berlaku pilihan pengobatan yang berbeda, menyediakan disesuaikan obat.
Menurut Syamsi dhuha (2014 : 4) penilaian klinis aktivitas penyakit sama pentingnya dengan hasil tes laboratorium. Pemantauan aktifitas penyakit sangat diperlukan untuk menentukan agresifitas penatalaksanaan lupus dan dosis obat yang dibutuhkan. Hal ini dapat dimonitor dari banyaknya organ tubuh pasien yang terkena dan tes laboratorium yang sesuai untuk memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan tes fungsi ginjal,atau fungsi paru, jumlah sel darah putih (leukosit), sel darah merah (hemoglobin) atau bahkan Laju Endap Darah (LED). Berbagai indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan digunakan oleh para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan kerusakan jaringan yang terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh dari peradangan aktif atau akibat kerusakan yang terbentuk. Sehingga pada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul :
1.    Lupus Ringan
Syamsi dhuha (2014 : 4-5) menyatakan bahwa manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan
2.      Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obatobat immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit. (Syamsi dhuha, 2014 : 5)
3.      Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol. (Syamsi dhuha, 2014 : 5)
Syamsi dhuha (2014 : 5) menambahkan bahwa pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat.
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) :
1.      Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2.      Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11)
3.      Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya  kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus :
a.    NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
b.    Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
c.    Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan.
d.    Immunosupresan
Menurut Postal, dkk (2012) dalam journalnya yang berjudul Biological therapy in systemic lupus erythematosus terapi SLE berat antara lain imunosupresi dengan target sel B, imunosupresi dengan target sel T, imunosupresi yang menghambat sitokin, dan imunosupresi menghambat komplemen berfungsi menekan sistem imun (imunosupresif), efektif mengurangi gejala sisa SLE namun dapat meningkatkan risiko infeksi serius.

1)      Imunosupresi dengan target sel B
Sebagian besar sel B terlibat dalam patogenesis SLE sebagai sumber autoantibodi, sebagai antigen-presenting cells (APC), sebagai pemrakarsa serta pengatur radang melalui sekresi sitokin. Sel B merupakan target pengobatan imunosupresi termasuk anti-CD20 monoclonal antibody (rituximab) dan anti-B lymphocyte stimulator (BLyS) :
a)    Anti-CD20 Antibody
Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada awal perkembangan limfosit B. Pemberian rituximab akan mengurangi limfosit B positif CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi dengan sel B asli yang tidak terpapar antigen. Efek samping rituximab yang paling sering diantaranya adalah reaksi transfusi (30–35%), neutropenia (8%), dan produksi human antichimeric antibodies (9%). Kasus fatal yang jarang terjadi termasuk progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan polyomavirus JC. Monoclonal anti-CD20 antibodies yang baru termasuk ocrelizumab, merupakan recombinant humanized monoclonal anti-CD20 antibody telah dicoba pada SLE ekstrarenal dan nefritis lupus.
(1)   Anti-CD22 Antibodies – Epratuzumab
Fungsi epratuzumab adalah untuk mengatur fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya. Dalam penelitian obat tersebut digunakan untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil baik dan aman serta mengurangi kebutuhan dosis kortikosteroid.
(2)   B-Lymphocyte Tolerogens – Abetimus (LJP-394)
Obat ini merupakan tolerogen terhadap sel B yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus telah diteliti pada manusia baik penderita lupus non renal maupun lupus nefritis. Tolerogen lain, yaitu TV-4710 (Edratide), merupakan peptida yang disusun oleh 19 asam amino.
b)   BLyS Blockers
B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator (BLyS) yang juga disebut B-cell activation factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci dalam aktivasi dan diferensiasi sel B sehingga dapat digunakan sebagai target yang baik untuk intervensi SLE. Penghambatan BlyS akan mengurangi sel B dan bermakna meningkatkan aktivasi imun.
Contoh obat ini belimumab merupakan human monoclonal antibody yang berikatan dengan BLyS sehingga menghambat aktivitas biologinya. FDA (Food And Drug Administration) Amerika Serikat telah menyetujui obat tersebut untuk pengobatan SLE. Penghambat BlyS lain atacicept (TACI-Ig) merupakan soluble transmembrane activator dan calcium-modulator dan cyclophilin ligand interactor (TACI) receptor, yang mengikat BAFF. Obat ini ditoleransi baik oleh penderita SLE.
2)   Imunosupresi dengan target sel T
Aktivasi sel T membutuhkan interaksi rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada sel T sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80 dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen Precenting Cell). Abatacept dapat menghambat interaksi tersebut. Suatu antibodi monoklonal efalizumab dapat langsung menghambat CD11a yang berperan penting untuk aktivasi, reaktivasi, ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit. Dengan demikian pemberian obat ini dapat mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.
3)   Imunosupresi yang menghambat sitokin
Sitokin yang berperan pada proses radang, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interferon alpha/gamma (IFN-α/γ) dan interleukin (IL) 1, 6, 10, 15, dan 18. Sitokin-sitokin tersebut potensial sebagai target pengobatan untuk mengurangi radang kronis pada SLE
a)    Anti-TNF-α
TNF-α pada SLE dapat meningkatkan apoptosis dan berpengaruh bermakna pada aktifi tas sel B, sel T dan sel detritus. Selain itu anti TNF-α menghambat pembentukan autoantibodi termasuk antinuclear, anti-dsDNA dan anti cardiolipin. Ada beberapa preparat anti TNF-α yang tersedia termasuk infl iximab, adalimumab, golimumab, certolizumab pegol dan etanercept.
b)   Anti-IFN-α/γ
IFN-α berperan bermakna pada patogenesis SLE dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan komplikasi ginjal. Obat anti INF-α termasuk sifalimumab (MEDI-545) dan rontalizumab serta obat anti INF-γ (AMG 811) merupakan obat yang aman serta ditoleransi penderita SLE.
c)    Anti-IL-1
Pada SLE, kadar serum TNF dan anti-dsDNA antibody meningkatkan kadar serum IL-1, peningkatan kadar IL-1 dihubungkan dengan aktifi tas penyakit dan kadar rendah antagonis reseptor IL-1 dihubungkan dengan nefritis lupus. Anakinra menetralkan aktivitas biologi IL-1; obat ini aman pada penderita SLE dan efektif memperbaiki artritis.
d)     Anti-IL-6
IL-6 menginduksi diferensiasi sel B menjadi sel plasma, sekresi antibodi dan hiperaktif, di samping itu juga mendorong proliferasi sel T, diferensiasi cytotoxic T-cell dan radang lokal. Ekspresi IL-6 pada nefritis lupus tinggi sehingga digunakan anti IL-6 (tocilizumab). Neutropeni merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian tocilizumab
e)      Anti-IL-10
IL-10 diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada SLE meningkat dan dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Pemberian anti IL-10 akan menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan menghambat terjadinya proteinuria dan glomerulonefritis.
f)       Anti-IL-15
IL-15 terutama diproduksi oleh makrofag dan ditemukan meningkat pada 40% penderita SLE, namun peningkatan tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Obat anti IL-15 sedang dicoba untuk penyakit autoimun lain.
g)      Anti-IL-18
IL-18 merupakan sitokin proinfl amasi yang erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai penelitian menemukan peningkatan kadar serum IL-18 pada penderita SLE yang dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai saat ini penghambat IL-18 belum digunakan pada SLE manusia
4)      Imunosupresan menghambat komplemen
Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur dan lebih dari 30 protein terlibat secara langsung atau tidak langsung memperantarai efek komplemen. Sistem komplemen mempunyai efek proteksi terhadap SLE sedangkan pada keadaan defi siensi komponen jalur klasik dihubungkan dengan peningkatan risiko SLE. Deposisi kompleks imun menyebabkan sistem komplemen aktif dan meningkatkan respons radang. Ada dua penghambat komplemen yaitu TP10 dan eculizumab yang walaupun belum ada penelitian klinik, mungkin dapat digunakan sebagai pengobatan SLE. (Postal, 2012 : 1-5)





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan.
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi.  Manifestasi tertentu SLE seperti penyakit kulit yang refrakter dan nefritis berhasil diatasi dengan baik dengan antagonis TNF-α dan anti IL-6.











DAFTAR PUSTAKA
DetikNews. Peneliti Australia Berhasil Identifikasi Penyebab Genetik Penyakit Lupus. http://news.detik.com/read/2014/08/19/161523/2666565/1513/peneliti-australia-berhasil-identifikasi-penyebab-genetik-penyakit-lupus. (Online). Diakses pada hari Minggu, 9 November 2014 Pukul 22.00 WIB.
Kambayana, dkk. 2014. Target Terapi Imunosupresan pada Lupus Eritematosus Sistemik. Denpasar : Universitas Udayana.
Krishnamurthy S, Subramanian M. 2011. Systemic Lupus Erythematosus: Recent Concepts in Genomics, Pathogenetic Mechanisms, and Therapies. 10.5402/2011/868964.
Musai Musdianto. 2010. Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T. Palembang : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2004. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Indonesia : Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. 2012. Biological therapy in systemic lupus erythematosus. 2012:578-641.
Redaksi Media in Health. 2013. Media in Health. Jakarta : PT. Asuransi Jiwa in Health Indonesia.

Syamsi dhuha. 2012. Lupus dan Penatalaksanaannya. Syamsi dhuha foundation. Diakses pada hari Sabtu, 8 November Pukul. 20.30 WIB. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar